Langsung ke konten utama

Bab 24


Brak...  Brak...
Seseorang berusaha menjadikan tubuhnya sebagai gelondong kayu yang biasa dipakai untuk menjebol gerbang benteng saat masa-masa perang dulu.
"Julian,  apa yang kau lakukan?  Julian!  Julian! "
Suara will yang panik menghentikan aksi julian pada bibirku.  Ia berdiri mematung, memandang pintu kamarku yang akhirnya roboh.  Will menyeruak masuk dan tanpa basa-basi melayangkan tinjunya pada wajah tampan Julian.
Aku terpekik ngeri.
"Will,  tidak will.  Will,  jangan"
Sekuat tenaga aku berusaha menahan tangan will dan menyusupkan tubuhku diantara mereka.
"Kau gila Juls.  Kau keterlaluan! " Will meneriaki Julian. Tangannya yang masih coba ku tahan,  mengepal erat hingga urat-urat birunya tercetak begitu jelas.
"Will,  apa maksudmu, memangnya apa yang Julian lakukan? " aku balas meneriakinya tepat di depan dadanya, sambil mendongakan wajahku menatapnya.
"Will,  tenanglah,  nak." seseorang menyentuh bahu Will,  berusaha menenangkannya.  Itu papa. Sejak kapan ia ada disini?
"Juls,  ayo...  Ikut denganku." itu suara mama.  Seketika kamarku terasa penuh. 
Seseorang menarik lenganku sekaligus menarikku dalam pelukannya.  Aku menangis, tanpa alasan.  Hanya untuk mengekspresikan kekesalanku.  Bob,  yang kukenali dari aroma tubuhnya,  membawaku kembali ke tempat tidur.
Segelas air putih mampu sedikit menenangkanku.  Tapi peristiwa yang terjadi begitu cepat tadi,  benar-benar di luar dugaan. 
"Bob,  apa itu tadi? " aku memperhatikan ekspresi tenang Bob yang berbeda jauh dengan ekspresi Will yang penuh amarah.
"entahlah,  testosteron berlebih,  kurasa" bob terkekeh alih-alih serius menjawab pertanyaanku.
"istirahatlah key,  kau masih lemah," Bob menaikan selimutku dan mengusap lembut kepalaku.
"biarkan mereka menyelesaikan dahulu perselisihan tadi. Biarkan mereka tenang. "
"tapi aku tak bisa,  bob.  Aku tak mengerti mengapa will memukul julian.  Apa salahnya?  Aku tak pernah melihat Will memukul seseorang sebelumnya."
"will bukan marah pada julian.  Ia hanya khawatir."
Khawatir?  Dengan cara melayangkan tinju seperti tadi?
"seperti halnya wanita yang mengekspresikan perasaan lewat tangisan,  laki-laki mengekekspresikannya melalui kontak fisik seperti yang kau lihat tadi. " Bob menatapku sendu. Aku tak mampu berkata apa - apa.  Aku kembali membenamkan kepalaku ke dada bidang Bob. Ia menepuk - nepuk kepalaku. 
"bukan berarti mereka saling membenci.  Terkadang rasa cinta dan benci menghasilkan output yang sama,  jika kau sedang merasa panik atau khawatir. Kau paham kan, key?"
Aku diam tak bersuara,  hanya isakan kecilku kembali terdengar.  Bahkan aku pun tak mengetahui,  alasan aku menangis.  Hanya saja,  sepertinya hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.
Bob meninggalkanku sendiri setelah memastikan aku meminum obatku.
Antara sadar dan tidak karena pengaruh obat tidur,  aku mengulang kembali semua yang kualami hari ini.  Dr.  Sean memeriksaku,  julian menemaniku,  julian membelai pipiku, julian menatapku,  julian memelukku. Rupanya hari ini,  julianlah tokoh utamanya.  Aku tersenyum malu.
Julian mengecup bibirku.  Bukan,  bukan mengecup.  Ia menciumku.  Ciuman pertamaku. Ciuman pertama kami.  Dan rasa malu kembali menjalariku.  Sampai akhirnya bibirku tersenyum bahagia,  mengalahkan rasa malu.  Aah... 
Dan will,  berusaha mendobrak pintu kamarku? 
Mengapa ia begitu kalut?
Mengapa ia semarah itu?
Apa salahnya dengan pintu yang tertutup?
Pintu yang tertutup? Padahal kuyakin sebelumnya pintu kamarku terbuka.  Dr sean keluar dari kamarku tanpa menutup pintu.  Tidak juga julian.  Pintu kamarku terbuka saat kami... Saat kami...  Aku kembali tersenyum malu. Dan...
Bingo!
Pintu kamarku tertutup tiba-tiba saja,  bahkan terkunci.  Jika tidak,  untuk apa Will berusaha mendobraknya.  Will bukan orang bodoh meski ia sedang marah.
Siapa yang menutupnya?  Menguncinya?  Siapa?
Pertanyaanku menggantung di udara hingga aku tertarik ke alam bawah sadar yang pekat.
---
Rumah - rumah yang berjejer di kejauhan,  sungguh unik.  Belum pernah aku melihat bentuk rumah seperti itu.  Tingginya hanya lebih tinggi dariku sekitar 30 cm.  Atapnya ditumbuhi berbagai macam tanaman merambat yang indah.  Sulur - sulur menjuntai melalui sisi - sisinya,  menggantung indah bagaikan kerai hijau alami. 
Setiap rumah dikelilingi pagar kayu berwarna putih atau coklat.  Dan antar rumah dibatasi oleh hamparan rumput yang cukup luas untuk anak-anak bermain bola. 
Tak seperti pintu rumah yang biasa kulihat,  pintu rumah disini berbentuk setengah lingkaran nyaris menyerupai jamur berbatang tebal.  Terbuat dari kayu alami yang masih terlihat jelas jejak lingkar tahunannya.  Dengan gantungan besi yang dipasang kokoh setinggi bahu orang dewasa. 
Aku melangkahkan kakiku ragu-ragu, menapakkannya pada jalanan berbatu kecil -kecil yang tertata rapi.  Beberapa helai rambutku berterbangan oleh hembusan angin.  Cuaca cerah sedikit dingin menjelang musim gugur. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling.  Sepi sekali,  tak adakah seorang pun yang dapat kusapa.  Aku ingin tahu dimanakah aku sekarang? 
Sayup sayup kudengar suara musik di kejauhan.  Diselingi riuh tawa, percakapan dan denting gelas beradu.  Rupanya sedang ada pesta.
Seperti ada magnet yang menarikku, otomatis aku mengikuti arah datangnya alunan seruling yang mendendangkan lagu riang gembira. 
Akhirnya kutemukan juga sumber keramaian.  Disana,  di tengah hamparan luas padang rumput,  dibawah naungan tenda yang besar, bersulur delapan seperti gurita,  berderet-deret meja menyajikan aneka hidangan, kursi-kursi berjejer di sebelah tepi membentuk setengah lingkaran,  beberapa pasangan sedang berdansa riang gembira dan anak-anak berlarian sambil tertawa-tawa. 
Aku mengamati mereka dari balik sebatang pohon besar yang salah satu cabangnya dijadikan tempat berpegangan salah satu lengan gurita tenda besar. Hatiku sangat ingin bergabung dengan mereka,  setidaknya untuk bertanya dimanakah aku sekarang.  Tapi akalku melarangnya.  Penampilanku yang berbeda pasti terlihat aneh untuk mereka.  Dan,  seingatku seperti yang diceritakan di berbagai novel bergenre petualangan yang pernah kubaca,  perbedaan sedikit saja dapat menimbulkan kesalahpahaman dan pertikaian,  apalagi perbedaan mencolok yang ditunjukan penampilanku. Piyama bermotif kelinci.  Piyama?  Keningku sedikit berkerut.  Mengapa aku berjalan-jalan menggunakan piyama?
Beberapa pasangan mulai mengambil tempat tersendiri di sekitar. Sekedar makan dan minum bersama di satu meja kecil,  saling menatap malu-malu,  ada juga yang sekedar mengobrol dan saling tersenyum khas orang yang sedang kasmaran.  Beberapanya ada juga yang berjalan-jalan sambil berpeganggan tangan. 
Sepasang laki-laki dan wanita berjalan menjauh dari keramaian,  menuju ke arahku.  Khawatir terlihat,  aku menyelinap ke arah semak semak terdekat,  meski mataku tak lepas mengamati mereka. Semakin dekat sepertinya aku merasa pernah melihat sosok mereka entah dimana.  Yang laki-laki tinggi dan ramping mengenakan pakaian bergaya scotland berwarna putih gading serasi dengan rambut keemasan sepunggungnya yang bagian sisi kiri dan kanannya diikat ke belakang. Mata birunya menyipit ketika ia tersenyum menampilkan lesung pipit yang menggemaskan.  Tapi...  Rasanya, aku tak asing lagi dengan wajah itu.  Bukankah itu...  Julian?  Juliankah itu? 
"Julian... Julian... ", lirih aku memanggil-manggil namanya,  berharap ia mendengarku.  Senang rasanya bertemu seseorang yang kukenal di tempat asing ini.
"julian... "
---
"shh..  Key,  aku disini...  Aku disini. " seseorang berbisik di telingaku.  Membelai rahangku. 
"Julian? "
"ya,  ini aku. "
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku.  Membukanya perlahan.  Gelap melingkupiku. 
"kita ada dimana? " bisikku
"dikamarmu, kea." hanya suaranya yang dapat kudengar,  dan hembusan nafasnya yang terasa olehku. 
"mengapa gelap? "
"mamamu bilang,  kau suka tidur dengan lampu dimatikan."
"ya,  itu menenangkan. Tapi aku tak dapat melihatmu."
Julian terkekeh.
Sesaat kemudian sinar lilin mulai memberikan sedikit cahaya,  cukup untukku melihat sekeliling dan memastikan bahwa benar aku berada di kamarku saat ini.
Mimpi lagi?
"bagaimana wajahmu,  julian?" refleks aku menyentuh pipinya,  tempat kulihat tadi Will memukulnya.
"uhm...  Tidak apa-apa,  tidak ada darah. Tidak seru." ia menyunggingkan senyum dengan separuh bibirnya.
"mengapa Will memukulmu?"
"hanya salah paham.  Ia sangat menyayangimu,  kau tahu? Ia tak ingin aku menyakitimu."
"tapi kau tidak menyakitiku."
"tentu saja.  Bagaimana bisa aku menyakiti orang yang kucintai.?"
Apa?  Apakah aku tidak salah dengar?  Julian mencintaiku?
Rupanya dosis obat yang diberikan dr.  Sean kali ini mampu membuatku berhalusinasi lebih daripada sebelumnya.  Kupejamkan lagi mataku.
"Kea...  Kau masih mengantuk? Kalau begitu, kau tidurlah."
"tidak!" Kubuka kembali mataku.  "Aku hanya sedikit bingung.  Kupikir ini semua bagian dari mimpiku."
"Senangnya bisa bermimpi.  Tak banyak orang yang bahkan bisa tertidur lelap dan bermimpi." julian mengatakannya dengan ekspresi murung.  Sesaat ia terdiam,  hingga tiba-tiba ia merubah posisi duduknya menjadi berbaring di sebelahku.
"tidurlah,  kea.  Kalau tidak,  kau pasti mengantuk di kelasmu besok."
Arrgh...  Aku mengerang membayangkan hari esok,  tiba-tiba saja aku malas menghadiri kelas. 
"tidak bisakah aku cuti saja? "
"cuti di minggu pertama?  Hemmm itu benar-benar terobosan baru,  Kea." julian tertawa sambil terpejam.  Ia membuka matanya kembali.  Menarikku berbaring di sebelahnya.
"tidurlah key,  aku akan menemanimu. "
Meski sebenarnya aku benci harus tidur lagi,  karena tidur maupun tidak, sama-sama melelahkan untukku, tapi aku menurut. 
Entahlah,  apakah aku bisa terlelap menyadari ia ada di sebelahku saat ini.  Atau aku akan terlalu sibuk menenangkan gemuruh jantungku yang bekerja terlampau keras akhir-akhir ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Partners

Sejak kecil, senang membaca. Dulu, suka sekali baca koran, tabloid dan majalah. Kebetulan papa berlangganan Kompas dan Suara Pembaruan, tante senang beli Nova, dan mamah sesekali suka bawa pulang majalah Kartini atau Sarinah. Seingat saya, tiap lembar dari media massa cetak itu tidak ada yang terlewat saya baca. Sampai iklan baris yang dari dulu sampai sekarang dimonopoli "obat kuat" pun saya baca :D Selain membaca, sepertinya saya pun senang mengajar. Mengajar apa saja, membuat saya deg deg an, melancarkan aliran darah, meningkatkan adrenalin dan menyebabkan bahagia. Mungkin itu yang namanya passion :) dan salah satu cara saya mengajar adalah dengan request. Contohnya yang satu ini... Request dibuatkan usus goreng yang renyah crunchy, dan dikemas dengan cantik. Namun, ternyata harus cukup bersyukur dengan hasil usus goreng yang "over cook" sehingga alot dan susah dikunyah...hehehe. Tak semua partners kita harus orang yang sudah mumpuni di bidangnya, seperti

Bab 7

Sabtu pagi yang cerah selalu membuatku bersemangat.  Awal musim panas,  adalah waktu yang ditunggu-tunggu olehku dan teman-temanku di tempat pelatihan renang.  Ini saatnya kami berlatih menyelam tanpa peralatan apapun.  Jika lancar dan lulus test, maka di pertengahan musim panas nanti,  kami diperolehkan untuk menyelam di tempat sesungguhnya,  laut.  Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdebar-debar. Seorang wanita tinggi dalam balutan casual celana kulit ketat dan jaket dengan model dan warna senada menghampiri di ujung anak tangga. "Hai,  Kea, sudah siap untuk acara kita hari ini? " tanyanya sambil memeluk dan mencium pipiku.  "Tentu saja Sam,  aku sungguh tak sabar ingin mengumpulkan batu sebanyak-banyaknya.  Taruhan,  batuku pasti lebih banyak dibanding Sarah kali ini, " jawabku bersemangat. "Dan untuk itu,  kau perlu mengisi perutmu dengan makanan lezat ini terlebih dahulu,  Kea," Tatiana yang sudah berada di meja makan mengedikan bahuny

Abnormal

Usiaku baru beberapa bulan saja,  jalanpun masih harus sering berpegangan pada apapun yang bisa kuraih,  tembok,  pinggiran kursi,  jendela,  box tidurku,  atau berpegangan tangan dengan mama. Tapi,  aku sudah mampu memahami pembicaraan orang - orang disekitarku.  Aku tau kalau mama sering membicarakan om Yus,  bersama tante Lusi.  Om Yus yang tampan,  mapan,  dari keluarga baik - baik,  om Yus nya sendiri pun baik.  Beberapa kali om Yus main ke rumah dan menggendongku.  Tante Lusi naksir om Yus,  hanya sayangnya Om Yus sudah memiliki Tante Lani,  dan beberapa bulan lagi mereka akan menikah. Orang dewasa seperti mereka cenderung mengabaikan bayi sepertiku saat tengah asyik berbincang.  Andai mereka tahu bahwa panca indera dan otakku tak ubahnya seperti blackbox pada mobil atau pesawat terbang,  yang mampu memindai apapun yang terjadi disekitarnya. Semakin orang - orang tak perduli padaku,  aku semakin nyaman.  Masa - masa bayi yang kulalui dalam diam,  jarang menangis,  membuat mama