"siapa kau?" tanyaku sekali lagi. Laki-laki tampan di hadapanku menatapku dengan ekspresi bingung.
Tak sabar menunggu jawaban, aku beranjak menuju kamarku, menutup pintu dan menguncinya. Aku masih butuh sendiri.
Mengapa mereka semua menyembunyikan kenyataan dariku? Apa salahku?
Ini hidupku yang mereka bicarakan. Apakah aku tak berhak mengetahuinya?
Mengapa mereka semua menyembunyikan kenyataan dariku? Apa salahku?
Ini hidupku yang mereka bicarakan. Apakah aku tak berhak mengetahuinya?
Seseorang berusaha membuka pintu kamarku yang terkunci. Namun ia tak memaksa. Tak lama kemudian, hening.
Rahasia apa sebenarnya yang mereka sembunyikan. Mereka, keluargaku yang kupikir selama ini menyayangiku... Ternyata tidak mempercayaiku. Bahkan setelah aku memohon pada kakak-kakakku, mereka tidak bergeming. Lalu, haruskah aku mempercayai mereka? Haruskah aku tetap diam menunggu?
Lama dalam bimbang dan gelisah. Ada sesuatu yang kurasakan, rasa sakit di hati, kecewa, terkhianati. Kubayangkan wajah orang-orang yang kusayang satu per satu, papa... Mama... Nat, bob, will, sam, tutsy, julian.
Julian... Julian... Aku menyayanginya? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku menyukai seseorang secepat itu? Namun aku memang menyukainya. Seperti... Ia telah lama menjadi bagian dari hidupku.
Julian... Julian... Aku menyayanginya? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku menyukai seseorang secepat itu? Namun aku memang menyukainya. Seperti... Ia telah lama menjadi bagian dari hidupku.
Malam ini, aku tak bisa tidur. Meski tubuhku lelah, namun mata dan pikiranku menolak untuk menutup.
Julian bersikeras untuk menemaniku, namun kutolak. Malam ini aku ingin sendiri. Aku harus memikirkan kembali semuanya dari awal.
Kuluruskan punggungku yang bersandar pada kepala kasur. Kaki dan bahu, juga leherku terasa pegal. Ditambah lagi suhu tubuhku meningkat dan kepalaku mulai terasa berat. Sepertinya demam. Aku mencoba menurunkan tubuhku dari kasur, tapi kembali jatuh. Benar-benar tak bertenaga. Makanan yang sudah disiapkan savanah nyaris masih utuh di atas nakas. Hanya 1 - 2 suap yang berhasil kutelan, sisanya kembali kumuntahkan saat baru saja memasuki mulutku. Semua makanan itu rasanya asam, tak sanggup kutelan. Kurasa bukan karena hampir seharian ini aku tidak makan. Biasanya juga aku makan dalam porsi sangat sedikit dan tidak ada keluhan apapun. Tapi memang beberapa waktu ini, berat badanku berkurang lumayan banyak. Sepertinya sejak lulus sekolah basic. Bahkan cincin pemberian mama yang selalu kupakai pun terpaksa kulepas karena longgar di jariku. Aku khawatir cincin itu jatuh.
Perlahan aku angkat tubuhku kembali ke atas kasurku. Kusandarkan kembali punggungku. Tubuhku boleh jadi lemah, tapi pikiranku masih berfungsi dengan baik. Ah, andai saja aku bisa mengambil buku dan pena di atas meja belajarku. Kulirik meja berwarna kuning pucat di sudut terjauh kamarku. Selain deretan buku-buku dan beberapa alat tulis, komputer dan tasku, sebuah poster sepanjang 1 meter yang masih tergulung rapi tergeletak begitu saja disana. Ah ya, aku bahkan nyaris melupakannya. Poster yang kubeli beberapa waktu lalu di sebuah kios pinggir jalan. Poster cantik, berlatar pemandangan bukit di senja hari. Di bagian kanan depan, kuingat tampak seorang gadis cantik sedang berdiri dan tersenyum bahagia di sebuah balkon, melihat ke sekumpulan pemain musik yang beraksi di bawahnya, dan seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari sana. Pemuda itu membawa seikat bunga dan menatap sang gadis penuh kerinduan. Well, setidaknya begitulah menurutku.
Aku mencoba kembali berjalan menuju meja untuk mengambil buku dan pena, sampai akhirnya aku hanya kembali terjatuh ke atas kasur. Namun anehnya, tanganku terasa penuh. Dan ternyata, keduanya menggenggam sesuatu... Buku dan penaku. Aku bergidik. Bagaimana bisa?
Julian bersikeras untuk menemaniku, namun kutolak. Malam ini aku ingin sendiri. Aku harus memikirkan kembali semuanya dari awal.
Kuluruskan punggungku yang bersandar pada kepala kasur. Kaki dan bahu, juga leherku terasa pegal. Ditambah lagi suhu tubuhku meningkat dan kepalaku mulai terasa berat. Sepertinya demam. Aku mencoba menurunkan tubuhku dari kasur, tapi kembali jatuh. Benar-benar tak bertenaga. Makanan yang sudah disiapkan savanah nyaris masih utuh di atas nakas. Hanya 1 - 2 suap yang berhasil kutelan, sisanya kembali kumuntahkan saat baru saja memasuki mulutku. Semua makanan itu rasanya asam, tak sanggup kutelan. Kurasa bukan karena hampir seharian ini aku tidak makan. Biasanya juga aku makan dalam porsi sangat sedikit dan tidak ada keluhan apapun. Tapi memang beberapa waktu ini, berat badanku berkurang lumayan banyak. Sepertinya sejak lulus sekolah basic. Bahkan cincin pemberian mama yang selalu kupakai pun terpaksa kulepas karena longgar di jariku. Aku khawatir cincin itu jatuh.
Perlahan aku angkat tubuhku kembali ke atas kasurku. Kusandarkan kembali punggungku. Tubuhku boleh jadi lemah, tapi pikiranku masih berfungsi dengan baik. Ah, andai saja aku bisa mengambil buku dan pena di atas meja belajarku. Kulirik meja berwarna kuning pucat di sudut terjauh kamarku. Selain deretan buku-buku dan beberapa alat tulis, komputer dan tasku, sebuah poster sepanjang 1 meter yang masih tergulung rapi tergeletak begitu saja disana. Ah ya, aku bahkan nyaris melupakannya. Poster yang kubeli beberapa waktu lalu di sebuah kios pinggir jalan. Poster cantik, berlatar pemandangan bukit di senja hari. Di bagian kanan depan, kuingat tampak seorang gadis cantik sedang berdiri dan tersenyum bahagia di sebuah balkon, melihat ke sekumpulan pemain musik yang beraksi di bawahnya, dan seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari sana. Pemuda itu membawa seikat bunga dan menatap sang gadis penuh kerinduan. Well, setidaknya begitulah menurutku.
Aku mencoba kembali berjalan menuju meja untuk mengambil buku dan pena, sampai akhirnya aku hanya kembali terjatuh ke atas kasur. Namun anehnya, tanganku terasa penuh. Dan ternyata, keduanya menggenggam sesuatu... Buku dan penaku. Aku bergidik. Bagaimana bisa?
Banyak kejadian tak masuk akal yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Kejadian demi kejadian yang membuatku melupakan kegiatan menulisku untuk sementara waktu. Aku senang menulis tentang berbagai hal menarik yang kutemui, misalnya saja ketika aku melihat seorang wanita muda dengan penampilan sangat menarik, tapi raut wajahnya begitu sedih dan terluka. Aku menulis apa yang kulihat ia lakukan. Berjalan lurus tanpa sedikitpun memperhatikan sekelilingnya, bahkan bertabrakan dengan beberapa orang pun ia tak peduli. Tapi yang lebih mengherankan, langkah gontai yang dilakukannya di bawah terik mentari musim panas, ia lakukan tanpa memakai alas kaki. Aku menyadarinya ketika untuk sesaat ia menghentikan langkahnya, untuk kemudian kembali berjalan gontai, namun kali ini langkahnya meninggalkan bercak darah. Kakinya terluka. Namun ia sama sekali tak peduli. "Duhai apa gerangan yang ia pikirkan?" begitu tulisan yang kubuat dengan ukuran lebih besar di buku catatanku. Sampai hari ini aku tak pernah mengetahuinya.
Kuputuskan untuk menuliskan berbagai pertanyaan yang beberapa waktu ini memenuhi pikiranku dan beberapa hal yang telah kuketahui mengenai Anna.
Entah berapa lama aku tertidur, hingga aku terbangun dalam keheningan.
Pekikan kaget terlepas dari mulutku, ketika menyadari bahwa aku tak sendiri.
Pekikan kaget terlepas dari mulutku, ketika menyadari bahwa aku tak sendiri.
"sshh... Ini aku." sebuah tangan membekap lembut mulutku.
"bagaimana... Bagaimana bisa... Lewat mana Kau masuk kesini?" tanyaku berbisik.
"tentu saja lewat pintu." julian balas berbisik.
"tapi, aku mengunci pintunya." dan aku sangat yakin akan hal itu.
"tentu saja lewat pintu." julian balas berbisik.
"tapi, aku mengunci pintunya." dan aku sangat yakin akan hal itu.
"tak ada yang bisa menghalangiku untuk menemuimu. Aku merindukanmu. " julian menarik pinggangku ke arahnya. Ia memelukku. Dalam kondisi normal, aku pasti akan sangat bahagia. Tapi kini, aku sungguh bingung dan tak ingin mempercayai siapapun.
"aku merindukanmu. " sekali lagi julian berbisik, seakan ingin meyakinkanku. Perlahan ia mengecup keningku dan membelai wajahku.
"siapa kau, julian? Aku tidak mengenalmu. Tapi mengapa sepertinya kau telah mengenal keluargaku demikian dekat? " tanyaku, kali ini aku menuntut jawaban.
"siapa aku? Akan kutunjukan siapa aku. Kau akan mengenalku, sayang. Kau akan mengenalku. " jawaban julian membuatku bertambah bingung.
Tak lama ia mengecup bibirku. Aku terkesiap. Dan hanya diam mematung. sekali lagi ia menciumku. Aku masih diam hingga akhirnya, sentuhannya di tubuhku membuatku terbelalak, sadar dengan maksud ucapannya tadi.
"Julian, hentikan," ucapku panik.
"ehmm... Mengapa? Bukankah kau ingin mengenalku?" jawabnya tanpa melepaskan bibirnya dari bibirku.
"ini adalah cara yang paling cepat agar kau bisa mengingatku," lanjutnya.
"ini adalah cara yang paling cepat agar kau bisa mengingatku," lanjutnya.
"apa maksudmu? Kau hanya perlu mengatakannya, " ucapanku terdengar tak begitu jelas.
"dan ku yakin, kau tidak mempercayaiku, " jawab julian.
"mengapa? "
"logika pemula. Anggap saja begitu. "
"maksudmu aku bodoh? "
"hehehe... Tentu saja tidak. Kau hanya perlu waktu untuk memahaminya. Dan waktu itu yang tak kupunya. "
"kau mengenal anna? Jawablah dengan jujur!"
Sesaat, julian menghentikan aksinya pada bibirku. Sebelum kembali melanjutkan dengan lebih menuntut.
"apa hubunganmu dengan anna? " tanyaku lagi.
"anna istriku. " Jawabannya spontan membuatku mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga julian terjatuh ke lantai dengan suara gedebug yang cukup keras.
"dan ku yakin, kau tidak mempercayaiku, " jawab julian.
"mengapa? "
"logika pemula. Anggap saja begitu. "
"maksudmu aku bodoh? "
"hehehe... Tentu saja tidak. Kau hanya perlu waktu untuk memahaminya. Dan waktu itu yang tak kupunya. "
"kau mengenal anna? Jawablah dengan jujur!"
Sesaat, julian menghentikan aksinya pada bibirku. Sebelum kembali melanjutkan dengan lebih menuntut.
"apa hubunganmu dengan anna? " tanyaku lagi.
"anna istriku. " Jawabannya spontan membuatku mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga julian terjatuh ke lantai dengan suara gedebug yang cukup keras.
Komentar
Posting Komentar